Thursday, June 26, 2025

"BELAJAR MENGHARGAI PERASAAN TEMAN


 Waktu saya masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya punya seorang teman sekelas yang tubuhnya lebih berisi dibanding teman-teman lain. Karena hal itu, dia sering dipanggil “gendut” oleh beberapa teman di kelas, terutama oleh satu teman yang memang terkenal suka bercanda. Awalnya, teman saya yang jadi sasaran ejekan ini hanya tertawa kecil dan terlihat biasa saja. Tapi lama-kelamaan, saya mulai menyadari bahwa candaan itu menjadi terlalu sering. awalnya dia biasa aja tapi lama-lama dia kesal juga karna keseringan. 

    Meskipun dia tidak pernah membalas atau menegur, saya bisa melihat bahwa dia merasa terganggu. Ketika bercandaan itu terjadi lagi, saya akhirnya menegur teman saya yang suka mengejek. Saya katakan, “Kamu jangan terus-terusan panggil dia 'gendut'. Nanti dia bisa sakit hati atau bahkan menangis.” Teman saya cuma balas senyuman. Setelah itu, saya mendatangi teman yang jadi korban candaan dan saya tanya langsung, “Kamu kesal nggak sih sebenarnya dipanggil begitu terus?” Ia menjawab dengan lirih, “Iya, aku sebenarnya kesal dan sakit hati. Tapi kalau aku ngomong atau marah, biasanya malah jadi makin diejek. Jadi aku pilih diam aja.”

    Dari situ saya sadar bahwa dalam hubungan sosial di kelas kami, ada semacam power tidak langsung. Teman yang suka mengejek punya pengaruh lebih besar, karena suka bercanda, dan sering didengar oleh teman-teman lain. Dan pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian ini adalah teman saya dan teman yang memiliki tubuh berisi dan sering dipanggil "gendut" oleh beberapa anak kelas, khususnya satu teman yang memang sering bercanda berlebihan. Saya juga terlibat secara langsung, karena saya adalah teman dari si pengejek, sekaligus orang yang peduli terhadap perasaan teman yang diejek. 

    Saya merasa ini tidak bisa dibiarkan. Saya mengajak teman yang suka mengejek untuk bicara baik-baik. Saya bilang, “Coba bayangin kalau kamu yang diejek seperti itu terus. Pasti nggak enak, kan?” Ini adalah bentuk negosiasi, karena saya mencoba menjembatani pandangan dan meminta dia memahami perasaan orang lain, bukan hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri. Dia akhirnya mulai paham bahwa candaan yang menurutnya lucu bisa menyakiti orang lain.

    Setelah itu, saya mengajak kedua teman saya itu untuk duduk bersama dan ngobrol. Saya berperan sebagai fasilitator, yang menciptakan suasana tenang agar mereka bisa berbicara secara terbuka tanpa saling menyerang. Saya membantu mereka saling mendengar. Teman saya yang merasa disakiti akhirnya bicara terus terang dan mengatakan bahwa dia sebenarnya tersinggung dan sedih, tapi takut jika ia membalas, ejekannya malah makin menjadi. Di sisi lain, teman yang mengejek awalnya merasa itu hanya bercanda, tapi setelah mendengar langsung, ia merasa bersalah dan meminta maaf. 

    Dalam proses ini, saya juga secara tidak langsung bertindak sebagai mediator, karena saya menjaga komunikasi mereka tetap sehat dan tidak memihak. Saya membantu mereka menemukan jalan tengah tanpa menyuruh mereka, melainkan membimbing mereka membuat keputusan bersama: berhenti mengejek dan kembali berteman seperti dulu. Setelah mereka saling meminta maaf, suasana langsung mencair. Teman saya yang sebelumnya sering mengejek berjanji akan lebih menjaga ucapannya, dan teman yang jadi korban juga menerima permintaan maaf itu dengan ikhlas. Ini adalah proses rekonsiliasi, di mana hubungan mereka yang sempat renggang dipulihkan kembali dengan kesadaran dan pengertian bersama.


 

Tuesday, June 17, 2025

manajemen konflik

 Manajemen konflik adalah proses mengidentifikasi, mengelola, dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam suatu organisasi, tim, atau hubungan untuk mencapai solusi yang efektif dan memuaskan semua pihak.

"BELAJAR MENGHARGAI PERASAAN TEMAN

  Waktu saya masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya punya seorang teman sekelas yang tubuhnya lebih berisi dibanding teman-te...